Cowok Hamil

Tidak Khawatir {2}



Tidak Khawatir {2}

0"Nggak usah dok," tolak Jamal. "Ini belum seberapa. Anak cowok mah udah biasa kayak gini." Ucapnya sombong.     

"Iya tapikan harus dibersihkan, Jems takutnya nanti infeksi," bujuk dokter Mirna. "Emang ada apa sih? Kok biasa sampe berantem? Apa kalian tawuran."     

"Namanya juga anak muda. Udah biasa dok. Makin banyak luka, malah makin keren."     

Kata-kata Jamal membuat dokter Mirna membuang napas pasrah, seraya menggeleng heran. Wajahnya terlihat putus asa. Memang percuma menasehati anak seperti Jamal. Tidak akan pernah di dengar.     

"Iya... tapi kamu udah nikah Jems. Bentar lagi kamu jadi bapak lho. Kasihan juga Rio nya," tutur dokter Mirna. Kemudian ia menoleh ke arah Rio, menatapnya iba. "Tuh liat, jadi kena batunya kan sih Rio..."     

Bukan Jamal namanya kalau langsung luluh begitu saja hanya dengan sebuah nasehat. Apalagi hanya seorang dokter Mirna yang notabene nya adalah orang lain. Jamal samasekali tidak menggubris. Yang ada ia hanya memutar bola matanya malas.     

"Percuma dok, ngomong ama dia," celetuk Rio yang membuat Jamal dan dokter Mirna menoleh ke arahnya. "Dia tuh bebal, nggak mempan sama omongan." Setelah menyampaikan itu terlihat Rio dengan susah payah berusaha mendudukkan dirinya. Menggunakan kedua pergelangan nya, Rio mendorong tubuhnya supaya bisa duduk menyandar.     

"Aakh!"     

Jamal tersentak kaget saat ia mendengar suara ringisan dari mulut Rio. Wajah remaja itu kembali panik. Kemudian ia buru-buru jalan tergesa mendekati tempat tidur dimana ada Rio masih berusaha untuk bangkit.     

"Lu ini apa-apaan sih? Nggak bisa anteng ya?!" Omel Jamal ketika ia sudah berada di samping tempat tidur Rio. Jamal meraih pundak dan pergelangan Rio, membantunya duduk lalu menyadarkan punggung Rio di sandaran tempat tidur. "Bikin kaget aja deh," Jamal kembali mengomel setelah berhasil membantu Rio duduk nyaman di atas tempat tidur.     

Jangan salahkan Jamal kalau telapak tangannya masih mencekal pundak dan pergelangan Rio. Ia benar-benar sangat khawatir.     

"Apaan sih? Gue nggak apa-apa?" Ketus Rio sambil menyingkirkan tangan Jamal yang masih menyentuh dirinya.     

"Nggak apa-apa gimana?! Lu kesakitan! Tadi gue liat!" Balas Jamal tidak kalah ketus.     

"Iya tapi nggak apa-apa. Cuman sakit dikit doang, juga." Bantah Rio tidak mau kalah. "Lu nggak denger tadi kata dokter Mirna? Gue ama kandungan gue kuat!"     

"Tetep aja gue panik! Lu kan habis jatuh... inget! perut lu tuh masih nyimpen anak gue!"     

Kata-kata Jamal membuat Rio mendengkus kesal. Percuma berdebat sama Jamal. Rio lebih memilih diam dan beristirahat dari pada harus bertengkar dengan cowok itu.     

Pertengkaran yang terjadi antara Jamal dan Rio membuat dokter Mirna tersenyum simpul sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.     

"Sudah, jangan berantem, nggak baik buat kandungan Rio," ucap dokter Mirna yang membuat Jamal dan Rio terdiam. Keduanya terlihat salah tingkah lantaran sempat melupakan keberadaan dokter Mirna. "Kalian kan udah nikah, udah jadi pasangan suami istri, harus rukun."     

"Kok pasangan suami istri si dok? Emang siapa istrinya? Kita kan co__"     

"Pake nanya lagi," sambar Jamal memotong kalimat Rio. "Jelas-jelas elu yang hamil! Di buku nikah juga elu yang istrinya." Tegas Jamal mengingatkan.     

Mengingat hal itu dan kenyataan yang ada, wajah Rio berubah menjadi murung. Menarik napas dalam-dalam, kemudian Rio hembuskan secara perlahan. Rio kembali menyalahkan takdir yang tidak berlaku adil padanya. "Tapi gue cowok, gue nggak mau jadi istri. Gue juga nggak pingin hamil!" Nada bicara Rio terdengar putus asa.     

Meski Rio sebenarnya anak yang mandiri, pintar dan juga kuat, tapi jangan lupakan usianya yang masih sangat muda. Jadi jangan salahkan Rio yang terkadang masih suka labil. Apa lagi dengan keadaannya sekarang. Sangat di luar nalar, kadang Rio juga merasa frustasi.     

Wajah murung Rio membuat Jamal terdiam, sambil menelan ludahnya susah payah. Wajahnya berkerut, sambil menatap iba ke arah cowok hamil itu.     

Terlihat dokter Mirna beranjak dari duduknya, lalu berjalan mendekati Rio dan juga Jamal. Sebagai seorang wanita tentu saja dokter Mirna cukup peka. Ia bisa merasakan apa yang sedang dirasakan oleh Rio.     

Jamal buru-buru beranjak dari duduknya, memberikan tempat untuk dokter Mirna, supaya duduk di samping Rio. Sementara ia sendiri berdiri di dekat kepala dipan, tepat di samping Rio.     

"Nggak boleh ngomong gitu Ri, kasian sama bayi kamu. Walapun mereka masih di dalam perut, tapi mereka tau, mereka juga denger kamu ngomong apa tadi. Kalau kamu kayak gini mereka pasti sedih..." tutur dokter Mirna. Ia berbicara sehalus mungkin, berusaha memberi ketenangan kepada Rio. Kemudian dengan lembut telapak tangan dokter Mirna mengusap-usap pergelangan Rio.     

"-Anggep aja ini anugerah buat kamu. Nggak semua orang bisa ngalamin hal seperti kamu. Takdir udah milih kamu untuk menjalani kehidupan seperti ini. Itu artinya takdir lebih percaya sama kamu dari pada orang lain. Takdir udah yakin kamu mampu, kamu kuat dan kamu pasti bisa."     

Kalimat yang disampaikan dengan sangat lembut oleh dokter Mirna, sukses membuat hati dan perasaan Rio menjadi lebih baik. Sedikit-demi sedikit, bibir Rio terlihat mulai bergerak, hingga akhirnya pergerakan bibir itu membentuk sebuah senyuman yang sempurna.     

"Iya dok, makasih.." ucap Rio. Tanpa sadar telapak tangannya ia letakan di atas perut, lalu mengusapnya pelan. "Maafin papi..." ucapnya di dalam hati.     

Siapa sangka, ternyata senyum Rio juga membuat perasaan Jamal menjadi tenang. Ia benar-benar merasa sangat legah. Seacara refleks bibirnya melengkung, membentuk senyum nyengir. Tanpa sadar telapak tangannya ia letakan di puncak kepala Rio, lalu dengan lembut jemarinya menyisir rambut lurusnya. Sedangkan bola matanya menatap teduh perut Rio yang sedang diusap-usap oleh pemiliknya.     

Apa yang dilakukan Jamal dan Rio membuat kening dokter Mirna berkerut. Tapi anehnya ia merasa tertegun dengan apa yang sedang ia lihat sekarang. Walaupun keberadaannya seperti dilupakan oleh Rio dan Jamal, tapi dokter Mirna tetap tersenyum simpul menatap mereka. Kenapa jadi baper?-pikir dokter Mirna.     

"Tapi dok," celetuk Rio tiba-tiba. Hal itu tentu saja membuat dokter Mirna tersentak kaget.     

"Eh, iya kenapa?" Gugup dokter Mirna.     

Rio terdiam, mengingat keadaan tubuhnya yang mulai membesar. Hal itu juga membuat pakaiannya tidak cukup lagi untuk dirinya. Persaan malu dan bingung yang membuat remaja itu memutuskan hanya diam.     

"Kenapa Ri?" ulang dokter Mirna.     

Rio membuang napas gusar, sebelum akhirnya ia berkata. "Baju saya udah nggak pada muat, kecil semua dok. Saya malu kalu mau beli__"     

Mendengar itu kening Jamal berkerut, lantas, "Ntar gue beliin! Nggak usah kuatir." Sergah cowok itu. Jangan lupakan jemari Jamal yang masih menyisir-nyisir rambut Rio. Namun, tanpa ia sadari gerakan menyisir itu, lambat laun berubah menjadi sebuah belaian.     

Menyaksikan itu, dokter Mirna hanya tersenyum simpul sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dasar anak-anak. Heran dokter Mirna.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.